1. Nash Ayat
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ
اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا( الأحزاب 59)
Wahai para Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu dan
istri-istri orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seleuruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk
dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59)
2. Makna per kata
§ Azwajika (أزوجك): yang dimaksud dengan kata ini adalah para
istri nabi yang statusnya menjadi ibu dari orang-orang mukmin.
§ Yudnina (يدنينا) : maknanya adalah menjulurkan atau
memanjangkan. Dan yang dimaksud dalam ayat ini adalah menutup wajah dan
badan agar berbeda dengan budak
§ Jalabib (جلابيبهن): maknanya adalah pakaian yang menutupi
seluruh badan. Dalam kamus lisanul arab disebutkan bahwa jilbab adalah
pakaian yang lebih luas / besar dari kerudung yang menutup kepala dan
dada. Ibnu Abbas berkata bahwa wanita muslimah diperintahkan untuk
menutup kepala dan wajah mereka kecuali sebelah mata saja agar mereka
dikenali sebagai wanita merdeka.
§ Adnaa (أدنى): merupakan fi`il tafdhil yang bermakna lebih
dekat. Asalnya dunuw yang bermakna dekat. Adnani minhhu artinya
dekatkan aku kepadanya.
§ Ghafura (غفورا): maknanya Maha Pengampun, yaitu menghapus
dosa-dosa. Ampunan ini belaku buat mereka yang meminta ampun.
§ Rahima (رحيما): maknanya mengasihi hambanya dan menyayangi.
Dan diantara bentuk kasih syangnya adalah tidak mewajibkan mereka dengan
hal yang tidak mereka mampu.
3. Ta`bir Qurani
a. Allah memulai dengan menyebutkan istri-istri nabi dan anak-anaknya
dalam perintah untuk memakai hijab secara syar`i. Hal itu memberi
isyarat bahwa para istri dan anak-anak nabi adalah merupakan suri
tauladan bagi umatnya. Dan dakwah itu tidak akan membuahkan hasil
keculai bila seorang da`i memulai dari dirinya dan keluarganya terlebih
dahulu.
b. Perintah untuk berhijab datang setelah perintah untuk menutup
aurat itu kuat dan mendalam. Sehingga berhijab merupakan tambahan dari
kewajiban menutup aurat.
4. Sebab turunnya ayat
Para mufassir meriwayatkan bahwa pada zaman dahulu para wanita baik yang
merdeka maupun yang budak, keluar pada malam bila ingin buang air di
antara semak dan pohon. Sehingga tidak bisa dibedakan antara wanita
merdeka dan budak. Orang-orang fasiq di Madinah sebagaimana kebiasaan
jahiliyah sering menggoda para budak wanita. Namun seringkali malah
menggoda para wanita merdeka dengan alasan bahwa mereka salah kira.
Sehingga turunlah ayat ini untuk membedakan antara wanita merdeka dengan
budak, yaitu dengan memakai jilbab yang panjang dan lebar.
5. Batas Aurat Wanita
Khilaf dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang batasan
aurat wanita itu akan selalu ada, selama nash-nash itu sendiri memang
mengandung khilaf dan perbedaan penafsiran serta variasi istimbath
hukum. Selama masih ada dari umat ini yang berpegang kepada kekerasan
gaya Ibnu Umar ra dan keluwesan Ibnu Abbas ra. Dan selama para shahabat
ada yang shalat Ashar di jalan dan ada yang shalat Ashar di Bani
Quraidhah.
Namun semua itu bukanlah aib dan dosa, melainkan justru rahmat dari
Allaw Azza Wa Jalla. Yang pendapatnya salah mendapat uzur dan justru
mendapat satu pahala. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tidak ada
kesalahan dalam ijtihad masalah cabang-cabang (furu`).
Namun di balik khilaf dalam masalah ini, tidak ada salahnya kami
kemukakan dalil-dalil dari masing-masing pihak, baik yang mewajibkan
niqab (tutup muka) bagi wanita maupun yang tidak mewajibkan.
1. YANG MEWAJIBKAN TUTUP MUKA (NIQAB)
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka (memakai niqab)
berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang
wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :
a. Ayat Hijab (Surat Al-Ahzab : 59)
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzah : 59)
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan
oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin
terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya,
kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan diantara mereka tentang makna ‘jilbab’ dan makna
‘menjulurkan’.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat
dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat
An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru
berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama
sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik
secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan
jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak
ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat An-Nuur : 31
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.” (QS. An-Nur : 31)
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa
yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah,
karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi dari para shahabat
termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya
dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan ‘yang biasa nampak
darinya’ bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat
ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat Al-Ahzab : 53
“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah amat besar di sisi Allah.”(QS. Al-Ahzab : 53).
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk
menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski
khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena
kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan
dan contoh yang harus diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga
kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri
nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah
kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat
Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya
dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi
nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar
mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri
Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini
yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra bila
kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara
shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh
dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang
agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan
kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada
kaitannya dengan ‘al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah’.
Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri
nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita
muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para
istri nabi memang memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan
dalam ayat Al-Quran.
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik,” (QS. Al-ahzab : 32)
d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah
hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW
bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
“Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya (berniqab) dan memakai sarung tangan”.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu
memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga
perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka.
Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin
beliau melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan
logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang
untuk melakukan sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang
berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang
halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab,
seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan
wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan
bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya
hukumnya wajib ?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah,
memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan
ini adalah logika yang lebih tepat.
e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,”Wanita itu adalah aurat,
bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya”. Menurut At-turmuzi hadis
ini kedudukannya hasan shahih.
Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah
aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat
ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan
Al-Hanabilah.
f. Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa,
“Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya
kecuali ini dan ini” Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar